Ketika IMM berada di tengah pergolakan politik,
ekonomi, dan politik serta dinamika zaman yang tidak menentu dan begitu banyak
tantangan, maka harapan kepada para Immawati sebagai kader IMM di berbagai
struktur IMM di seluruh Indonesia. Quo vadis Immawati sebagai kader IMM ?, Apa
yang telah dan dapat disumbangkan oleh Immawati untuk membesarkan IMM dan
membawa organisasi mahasiswa Islam ini ke arah yang lebih berkemajuan ?, Baik
Immawati yang berada di dalam maupun di luar struktur IMM, semuanya sebenarnya
diikat oleh posisi dan doktrin mendasar yang sama yakni sebagai kader IMM yang
hadir dan dilahirkan untuk mengemban misi gerakan amar ma’ruf nahi mungkar
serta membumikan visi intelektualitas, religiusitas dan humanitasnya. Bagi
immawati sebagai kader intelektual IMM yang telah dilahirkan dari kampus, maka
seyogyanya menjadi prioritas untuk mengabdikan diri dan berperan sebagai
lokomotif perubahan. IMM berkehendak agar immawati yang telah menjadi alumni
untuk mentransformasikan dirinya menjadi politisi di berbagai partai politik,
pengusaha dan kaum wirausahawan, budayawan, para guru, kaum professional,
presiden, wakil presiden, dokter dan lain sebagainya, proses ini merupakan
tolak ukur keberhasilan immawati dalam mengemban visi dan misi IMM.
Baik immwati yang berada di dalam maupun di luar
struktur IMM maupun yang sudah menjadi alumni agar secara bersama dengan system
gotong royong untuk membangun immawati, olek karena sudah saatnya menghimpunkan
potensi dan kekuatannya sebagai kader IMM. Immawati dapat menjadi busur panah
organisasi. Karena itu, Immawati sejatinya harus memiliki keunggulan dan
kelebihan yang tidak dimiliki oleh kader pada umumnya. Keunggulan dalam spirit,
motivasi, komitmen, integritas, kapabilitas, pengkhidmatan, pemikiran, karya,
dan aktualisasi peran di mana pun dan kapan pun. Kualitas dan kiprah Immawati
harus di atas rata-rata kader IMM yang lain. Immawati selalu siap mengemban
misi organisasi di mana dan kapan pun dia berada. Baik diminta maupun tidak
diminta, apakah berada dalam posisi memiliki jabatan maupun tidak, semestinya
setiap kader akan selalu terpanggil untuk mengemban misi IMM. Immawati tidak
boleh merengek manakala menghadapi tantangan, tetapi juga jangan angkuh jika
memiliki keunggulan posisi dan peran di luar. Manakala immawati berperan tidak
hitung-hitungan amal. Jika berbuat apa imbalannya ?, Lebih-lebih jika merasa
sudah berkecukupan. Jangan sampai ketika berbuat kemudian IMM tidak memberikan
imbalan kemudian lari dari IMM. Atau manakala berbuat tetapi disertai dengan
sikap merendahkan keberadaan IMM, Jangan sampai kader memiliki pandangan
negatif dengan menyatakan, “IMM hanya perkaderan dan lemah dan tidak ada
aksentuasi gerakannya”, ini adalah hal yang mengandung isyarat merendahkan
organisasi dan memandang diri begitu berjasa. IMM tidak akan memaksa kadernya
untuk membesarkannya. Semuanya tergantung pada keikhlasan dan panggilan nurani
setiap kader. Kader memang harus dihargai martabat dan kiprahnya, tetapi jangan
sampai IMM diremehkan dan seolah-olah tidak mau tahu tentang perkembangan IMM
baik buruknya. IMM secara kelembagaan memang harus terus-menerus menghimpun dan
memanfaatkan potensi kadernya dari berbagai struktur IMM dengan melakukan
pembinaan dan pemberdayaan kader. Tapi juga para kader immawati dituntut
proaktif dan memiliki komitmen berkiprah dalam memperjuangkan visi dan misi
IMM. IMM justru harus dibesarkan oleh para kader, anggota, dan para pimpinannya
dengan sepenuh pengkhidmatan. Para Immawati harus menjadi teladan bagaimana
menghormati prinsip, kepribadian, kebijakan dan tatanan yang selama ini menjadi
fondasi dan bingkai gerakan immawati. Bukan malah mendeligitimasi dan
memperlemah kelembagaan IMM, yang terpenting dan mendasar bahwa immawati tak
perlu merasa cuek dan sombong dalam berIMM, justru sekarang bagaimana
menjadikan IMM makin besar sebagai gerakan Mahasiswa Islam.
IMMAWATI :
Penjarahan Adalah Nasib, Pembebasan Adalah Pilihan
Perbincangan terhadap perempuan dalam kaitannya
dengan demokrasi dan otoritarianisme adalah sebuah topik yang selalu menarik.
Karena tema itu akan mengajak kita mengeksploitasi lebih jauh posisi perempuan
dalam dua konteks politik yang memiliki karakter yang sama sekali berbeda.
Otoritarianisme senantiasa dipahami sebagai karakter kekuasaan yang menegasikan
keragaman, tertutup, non kompetitif dan bekerja untuk dirinya sendiri.
Sedangkan, demokrasi dibayangkan sebagai karakter kekuasaan yang lebih terbuka,
egaliter, kompetitif dan pluralis. Di tengah perbedaan yang tegas antara dua
karakter kekuasaan itu, banyak studi maupun analisis yang memperlihatkan bahwa
perempuan cenderung berada dalam posisi yang sangat lemah, ketika berada dalam
konteks struktur politik otoritarianisme. Karena bagaimanapun, dalam struktur
hierarki penindasan yang bekerja di dalam politik otoritarianisme, perempuan
menempati lapisan piramida korban yang paling bawah. Walaupun otoritarianisme
adalah struktur kekuasaan yang paling menindas perempuan, namun otoritarianisme
juga dipandang sebagai struktur politik yang mendorong lahirnya gerakan
perempuan dan sekaligus membatasinya. Pengalaman historis di banyak negara
menunjukkan bahwa gerakan perempuan justru terlahirkan sebagai “anak haram”
dari “rahin” otoritarianisme. Dengan demikian, subordinasi dan pengabaianhak-hak
perempuan sesungguhnya telah menjadi landasan bagi perempuan untuk melakukan
gerakan. Di negara-negara otoriter, represi negara mendorong kaum perempuan
menggelar aksi kolektif menuntut demokratisasi.
Pada awalnya, gerakan-gerakan perempuan tidak terlalu direspon serius oleh rezim otoriter, karena selalu dipandang “remeh” sebagai gerakan yang bersifat apolitis dibandingkan gerakan buruh ataupun gerakan mahasiswa. Namun, perkembangan berikutnya, gerakan perempuan dianggap semakin politis ketika gerakan perempuan bersinggungan dan bergandengan tangan dengan gerakan sosial yang lain untuk mengusung isu-isu yang lebih luas, seperti hak-hak azasi manusia, lingkungan, dan hak-hak warga negara. Pandangan bahwa agama menjadi salah satu penghambat perempuan berperan dalam politik muncul karena Islam melalui teks-teks keagamaan dan doktrinnya dipandang memberikan peraturan baku mengenai hak, kewajiban, dan tugas bagi laki-laki dan perempuan secara berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dianggap melekat dalam jenis kelamin itu sendiri, terbawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Hal itu terjadi karena teks-teks keagamaan dipahami secara literal, apa adanya, tanpa menggunakan perangkat-perangkat metodologis yang me mungkinkan untuk mendapatkan pemahaman lain yang lebih substansial dan sesuai dengan konteks pada saat teks tersebut muncul. Secara literal terdapat banyak teks keagamaan, baik Al-Qur’an maupun Hadits yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas kedua setelah laki-laki. Misalnya dalam kasus pembagian warisan dan poligami. Dalam kasus pembagian warisan, perempuan menjadi pihak yang mendapatkan bagian hanya separuh laki-laki. Namun, jika dikaji dengan metode hermeneutik atau melibatkan asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), sebenarnya agama justru hendak mengangkat derajat perempuan dan menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki. Hal ini jelas jika dilihat konteks sosio-historis sebelum Islam datang.
Peran immawati terhambat karena konstruksi sosial yang telah lama terbangun menempatkan immawati dalam konteks ruang yang terbatas, dan immawan ada dalam ruang-ruang kerjasama yang besar. Perbedaan peran antara immawan dan immawati kemudian dilanggengkan dan bahkan melembaga melalui institusi formal maupun non-formal, seperti struktur pimpinan, agenda perkaderan sampai pada forum kajian. Melihat dominannya doktrin agama dalam mempersempit ruang gerak immawati dengan problem partisipasi immawati, maka yang paling penting untuk immawati adalah bagaimana membangun peradaban yang setara, immawan dan immawati, sebab sebetulnya yang merupakan problem khas kader dalam IMM adalah secara keseluruhan tidak terakomodir dalam konteks isu, program, wacana intelektual dan pemikiran yang dapat memperkuat kapasitas organisasi baik berasal dari pusat, daerah, cabang dan komisariat. Problem-problem ini tentu harus direspon secara kolektif oleh kader IMM terutama di kalangan immawati, sebab immawati akan bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya gerakan feminisme Islam yang berkeadaban. Sekarang ini selayaknya immawati sudah saatnya untuk bergerak dan menjadi “kaca cermin” bagi gerakan IMM yang merah sejati. Oleh karena immawati masih kurang mendapatkan ruang untuk mengekspresikan partisipasinya dalam konteks konstruksi gerakan IMM, Kalau kita mleihat kebelakang tentu banyak problem IMM apalagi terkurasnya idnetitas merahnya yang terkadang menjadi dan ada yang IMM merah Murni dengan IMM Merah Hijau serta IMM banyak warna di luar warna IMM asli. Seharusnya kader IMM meletakkan spirit Melatih Hijau Diatas Merah sebagai bentuk keberanian untuk melakukan pembebasan berdasarkan nilai-nilai keIslaman, Kiprah immawati maupun kader IMM secara keseluruh sangat dibutuhkan, sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia immawati harus bisa menjadi rujukan untuk gerakan perempuan di daerah lain diseluruh Indonesia maupun dunia.
Pada awalnya, gerakan-gerakan perempuan tidak terlalu direspon serius oleh rezim otoriter, karena selalu dipandang “remeh” sebagai gerakan yang bersifat apolitis dibandingkan gerakan buruh ataupun gerakan mahasiswa. Namun, perkembangan berikutnya, gerakan perempuan dianggap semakin politis ketika gerakan perempuan bersinggungan dan bergandengan tangan dengan gerakan sosial yang lain untuk mengusung isu-isu yang lebih luas, seperti hak-hak azasi manusia, lingkungan, dan hak-hak warga negara. Pandangan bahwa agama menjadi salah satu penghambat perempuan berperan dalam politik muncul karena Islam melalui teks-teks keagamaan dan doktrinnya dipandang memberikan peraturan baku mengenai hak, kewajiban, dan tugas bagi laki-laki dan perempuan secara berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dianggap melekat dalam jenis kelamin itu sendiri, terbawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Hal itu terjadi karena teks-teks keagamaan dipahami secara literal, apa adanya, tanpa menggunakan perangkat-perangkat metodologis yang me mungkinkan untuk mendapatkan pemahaman lain yang lebih substansial dan sesuai dengan konteks pada saat teks tersebut muncul. Secara literal terdapat banyak teks keagamaan, baik Al-Qur’an maupun Hadits yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas kedua setelah laki-laki. Misalnya dalam kasus pembagian warisan dan poligami. Dalam kasus pembagian warisan, perempuan menjadi pihak yang mendapatkan bagian hanya separuh laki-laki. Namun, jika dikaji dengan metode hermeneutik atau melibatkan asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), sebenarnya agama justru hendak mengangkat derajat perempuan dan menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki. Hal ini jelas jika dilihat konteks sosio-historis sebelum Islam datang.
Peran immawati terhambat karena konstruksi sosial yang telah lama terbangun menempatkan immawati dalam konteks ruang yang terbatas, dan immawan ada dalam ruang-ruang kerjasama yang besar. Perbedaan peran antara immawan dan immawati kemudian dilanggengkan dan bahkan melembaga melalui institusi formal maupun non-formal, seperti struktur pimpinan, agenda perkaderan sampai pada forum kajian. Melihat dominannya doktrin agama dalam mempersempit ruang gerak immawati dengan problem partisipasi immawati, maka yang paling penting untuk immawati adalah bagaimana membangun peradaban yang setara, immawan dan immawati, sebab sebetulnya yang merupakan problem khas kader dalam IMM adalah secara keseluruhan tidak terakomodir dalam konteks isu, program, wacana intelektual dan pemikiran yang dapat memperkuat kapasitas organisasi baik berasal dari pusat, daerah, cabang dan komisariat. Problem-problem ini tentu harus direspon secara kolektif oleh kader IMM terutama di kalangan immawati, sebab immawati akan bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya gerakan feminisme Islam yang berkeadaban. Sekarang ini selayaknya immawati sudah saatnya untuk bergerak dan menjadi “kaca cermin” bagi gerakan IMM yang merah sejati. Oleh karena immawati masih kurang mendapatkan ruang untuk mengekspresikan partisipasinya dalam konteks konstruksi gerakan IMM, Kalau kita mleihat kebelakang tentu banyak problem IMM apalagi terkurasnya idnetitas merahnya yang terkadang menjadi dan ada yang IMM merah Murni dengan IMM Merah Hijau serta IMM banyak warna di luar warna IMM asli. Seharusnya kader IMM meletakkan spirit Melatih Hijau Diatas Merah sebagai bentuk keberanian untuk melakukan pembebasan berdasarkan nilai-nilai keIslaman, Kiprah immawati maupun kader IMM secara keseluruh sangat dibutuhkan, sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia immawati harus bisa menjadi rujukan untuk gerakan perempuan di daerah lain diseluruh Indonesia maupun dunia.
IMMAWATI
: Membaca, Berfikir, Menulis Dan Bertindak.
Sebenarnya, Saat ini kader IMM sudah banyak yang
kreatif membaca, menulis, berfikir maupun diskusi untuk mengembangkan
artikel-artikel lepas yang sepertinya sangat general. Apalagi IMM telah
dinobatkan untuk menjadi organisasi mahasiswa Islam sebagai corong kekuatan
intelektual dan pemikiran yang diletakkan oleh para founding father IMM
sehingga kader IMM harus memperkuat daya baca, diskusi teoritis dan praksisnya,
menulis, berfikir maju, maupun bertindak tegas terhadap pola gerakan yang
dibangunnya. Menurut Trias Setiawati Sekretaris PP Aisyiyah dalam pidatonya
pada acara Milad ke-44, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang jatuh pada hari
Jum’at 14–03–2008, menyoroti peran Immawati sebagai anggota perempuan
muhammadiyah yang memiliki peran strategis dalam upaya mewujudkan cita-cita
Muhammadiyah Yaitu “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” oleh karena
Immawati sebagai warga bangsa yang berpendidikan tinggi diharapkan kelak
menjadi lokomotif kemajuan bagi bangsanya dan diharapkan mampu meningkatkan
mutu dan jumlah anggota untuk menjadi calon pimpinan Muhammadiyah di masa depan
yang maju dan mulia.37 Namun selama ini ada kesan bahwa Immawati lebih banyak
berada di menara gading kampusnya, terpisah dari realita pergolakan kehidupan
masyarakat dan bangsanya. Sementara di dalam kampus, para immawati juga belum
mampu berperan sebagai kader intelekual yang kelak menjadi pencerah
Muhammadiyah di masa depan. “Karena itulah Immawati harus meningkatkan daya
baca, kemampuan bahasa, melek informasi dan teknologi serta siap dalam situasi
apa pun dimana pun, kemudian sambil memberikan etos perjuangan, penguasaan
berbagai ketrampilan baik hard maupun soft skill.
Menegaskan
(Kembali) Peran IMMAWATI
Berbicara tentang peran immawati tidak terlepaskan
dari seputar gerakan IMM secara umum dan gerakan feminisme khususnya. Dalam
tradisi berbagai agama, kebudayaan maupun tradisi paradigma IMM, immawati
dipandang sebagai Warga Ikatan yang dinomor duakan, dibawah immawan-immawan.
Padahal secara kultural immawati berhak menjadi pimpinan dan tingkat kewajiban
maupun pendidikan yang sama. Namun yang masih nampak sampai sekarang, Immawati
yang notabene adalah immawati dianggap berperan dibelakang layar sebagai
pendukung semua kiprah immawan-immawan yang menjadi pimpinan tanpa ada
penegasan untuk keluar dari paradigma tersebut. Demikian tradisi dan diktrin
kader IMM yang sebagian menempatkan immawati dalam porsi yang berbeda dari
immawan. Terkait peran immawati harus ditafsir ulang oleh para immawati secara
kolektif maupun pimpinan IMM yang berada di struktur IMM agar diskursus ini
memiliki jalan keluar yang bisa membuat immawati keluar dari berbagai persoalan
yang kompleks sekarang ini. Kesetaraan peran antara immawan dan immawati tentu
sangat dibutuhkan karena hal itulah yang akan menjadikan sebagai basis utama
untuk memperlihatkan kepada publik tentang otoritas penilaian maupun investasi
zaman terhadap kaum perempuan femenisme. Bagi immawati akses politik, masuk
ruang publik, politisi, akademisi, ilmuan immawati dan pekerjaan yang setara
senantiasa harus dijadikan tema sentral yang diperuntukkan bagi immawati.
Namun, tema sentral itu harus memiliki pijakan yang bersipat kolektif bahwa
pembedaan peran ini terkait dengan konstruksi Islam sebagai agama yang rahmatan
lil alamin. Pembedaan tersebut pada wilayah ritualisme (Ibadah) dalam konteks
misalnya sholat, bahwa memang wanita tidak boleh mengimami laki-laki dalam
sholat kecali sama-sama perempuan. Kemudian kalau masalah dalam konteks social
budaya misalnya menjadi ketua umum organisasi, mengurus masalah domistik,
pengajian, presiden di negara Islam, dakwah, bekerja, politisi, akademisi,
pengusaha, dan lain sebagainya, itu semua di bolehkan, asalakan mengikuti apa
yang di perintahkan oleh Allah dan sinnah Rasul. Jangan sampai ada terkesan
bahwa perempuan itu hanya ditempatkan di lini kedua menangani urusan anak-anak
dan memasak, Sementara laki-laki mencari makanan dan uang. Padahal secara
prinsipil, tidak ada masalah dalam pembagian peran tetapi masalahnya sejauh
mana mindset paradigma yang dibangun untuk memberikan ruang kepada perempuan
untuk berkiprah sejauh yang mereka jangkau, bukan hanya peran domestik itu.
Lebih jauh, mengikuti sejumlah teori psikologi, peran immawati dalam berkiprah
di suatau organisasi sangat berkaitan dengan nilai kedamaian, toleransi,
kejujuran dan kebesaran organisasi tersebut. Oleh karena organisasi yang
mengutamakan peran perempuan dengan ketegasan, sikap dan tindakan yang senantiasa
dinilai dengan benar, maka akan menjadi lebih terhormat serta mampu
mengakomodir potensi yang ada demi mencapai tujuannya. Sebenarnya perbedaan
dalam IMM seharusnya menjadi entri poin bagi kita sebagai kader IMM dalam
mengapresiasi peran immawati sebagai penopang gerakan. Harus diakui,
penghargaan terhadap kelebihan immawati belum mendapat tempat yang selayaknya.
Fakta bahwa sebagian besar immawati mmeiliki potensi dan paradigma yang berbeda
dalam pandangan untuk membawa Ikatan kearah kemajuan sebagai bukti betapa besar
peran sentral immawati dalam perkembangan IMM.
Kemudian, nilai-nilai kesabaran yang telah ditumbuhkan terhadap immawati dirusak kondisi IMM yang bersifat statis. Sehingga karakter dan sikap mental atau karakter Immawati lebih banyak diwarnau dengan cara pandang subyektif akan kiprahnya.
Kemudian, nilai-nilai kesabaran yang telah ditumbuhkan terhadap immawati dirusak kondisi IMM yang bersifat statis. Sehingga karakter dan sikap mental atau karakter Immawati lebih banyak diwarnau dengan cara pandang subyektif akan kiprahnya.
Maka, implikasi problem seperti ini membuat immawati
secara keseluruhan menjadi perempuan yang tidak memahami khittah dan identitas
IMM. Menurut Immawan Khaerul Anas DPD IMM DIY, diskusi lewat via telpon pada
tanggal 30 September 2009 mengatakan bahwa tantangan kader IMM sekarang ini
oleh karena lemah dalam memberikan pemahaman dan doktrin tentang proses
perjuangan Ikatan, apalagi immawati terlebih lagi dalam perkembangannya yang
selalu kompleks dan monoton sehingga roh dan jiwa progresif immawati lentur dan
kebanyakan tidak memaknai perjuangan immawati itu sendiri sehingga menjadikan
immawati kerdil dalam pandangan gerakan perempuan lain di Indonesia. Maka oleh
karena, sudah saatnya immawati dengan segenap tanggungjawab dan kemampuan untuk
tidak menjadi second line immawan saja semata, sehingga nantinya immawati
dengan kiprahnya bisa di harapkan sebagai vioner perempuan Indonesia seutuhnya.38
Akan tetapi bisa, bukan harus diposisikan sebagai second line selamanya namun
harus menjadi mitra sejajar yang derajatnya sama dalam IMM, hanya saja ada
perbedaan peran-peran yang dilakukan dan bisa diterima secara adil dan
bermartabat. Format kesetaraan dalam IMM memang di benturkan pada perbedaan
peran, inilah yang masih harus kita diskusikan bersama lebih jauh bersama Warga
Ikatan. Maka kepada para immawati, Jangan patah arang dan tetaplah bersemangat
dalam berjuang.
Memang saat ini IMM sangat membutuhkan kematangan
berfikir Immawati sehingga menjadi lokus gerakan perempuan yang menjadi
cerminan gerakan perempuan lain, namun harus di sadari kalau Berbicara tentang
IMM, mungkin tidak akan bisa di selesaikan dalam satu malam diksusi di warng
HIK. Atau juga tidak bisa di paparkan dalam rentetan kata demi kata yang
berbaris menjadi kalimat yang kemudian di sisipkan dalam buletin atau buku
tentang IMM. Ketika kita berbicara tentang IMM, baik itu menyangkut tentang
kelemahan dan kelebihan IMM itu sendiri, sebagai kader IMM tentunya tidak
terlepas pada sisi subjektifitas. Bahkan dalam tataran tertentu akan terjadi
sebuah pembelaan dan sikap apologi atas sebuah keadaan yang terjadi di tubuh
Ikatan. Namun apakah itu yang bisa kita lakukan demi menutupi kelemahan dan
kebobrokan Ikatan kepada kader-kader Imm yang rata-rata progresif, militan,
kritis, kritikus dan selalu gelisah melihat rentannya kehancuran di tubuh IMM
itu sendiri. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa Islam, usia seperempat abad
seharusnya adalah usia keemasan. Usia dimana diidentikkan dengan fase
kematangan. Baik kematangan gerakan, sikap organ dan matang dalam berpikir. Itu
adalah sebuah kondisi yang normal, namun tidak demikian yang terjadi di IMM.
Karena sejarah telah mencatat bahwasannya gerak Ikatan ini sering kali
terhegemoni oleh system kekuasaan dan sipat hedonis kader yang memliki
kepentingan materialis bahkan mengalami “koma” antara hidup dan mati (hidup
segan mati tak mau), antara bergerak dan digerakkan, antara idealis dan
pragmatis hedonis, antara cinta ikatan dan merusak ikatan, antara intelektual
dan politik.
Praktisnya kita berfikir, bahwa jika menakar kembali keberadaan Immawati dalam tubih IMM di kancah pergerakan perempuan memang harus di pertanyakan oleh karena beberapa faktor, pertama, Faktor histories dan philosofisnya. Kedua faktor teologis perempuan. Ketiga, Faktor Idiologis dan praksisnya. Faktor inilah sebenarnya yang harus di gali oleh immawati dalam IMM ketika meletakkan batu pertama gerakannya pada basis feminisme Islam. Faktor ini juga merupakan bentuk landasan untuk memberikan argumentasi dalam melawan wacana feminisme liberal, feminisme marxisme, feminisme sosialisme, feminisme radikal, selain itu juga factor tersebut juga sebagai bangunan masyarakat Islam yang seenar-benarnya.
Namun sekarang kita harus mengakui bahwasannya immawati masih “polos” dalam gerakan dan kiprahnya sehingga berakibat pada mudahnya diombang-ambingkan oleh keadaan, mudah terseret arus yang sengaja di hembuskan oleh gerakan perempuan lain atau bahkan yang paling memilukan adalah terjadinya “migrasi kader” secara berjamaah ke organ gerakan lain seraya mengatakan IMM tidak jelas mabda'nya, IMM tidak jelas “kelaminnya” bahkan lebih tragis lagi dikatakan IMM tidak Islami, kiri, anti masjid bahkan kafir. Permasalahan diatas adalah realitas meskipun untuk saat ini kejadian seperti itu semakin menyusut. Sudah menjadi takdir mungkin IMM itu lahir dengan modal kelompok kreatif minoritas (creative minority society) yang kemudian berikat dalam tubuh IMM. Gerakan ini mengambil segmentasi di wilayah intelektual, dakwah dan sosial yang merupakan hasil pembacaan yang mendalam para the founding fathers kita dan sebagai antitesa dari gerakan kemahasiswaan yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, IMM menjadi organisasi yang unik karena sifat gerakannya yang membumi melalui gerakan dakwah, sosial dan intelektual. Begitu juga dengan Immawati merosotnya pamor, kehilangan immawati sebagai kader IMM bahkan dipandang sebelah mata kehadirannya menjadi hal yang harus segera di benahi.
Lemahnya
Doktrin IMMAWATI.
Secara normatif institusional maupun tekstual kita
bisa memetakkan bahwa doktrin teologis-ideologis sangat kurang malahan tidak
ada berjalan, doktrin hanya pada sisi biologis tanpa ada doktrin dari
peran-peran intelektualitas, religiusitas dan humanitasnya. Sebenarnya teologi
gerakan immawati yang dijelmakan menjadi teologi perempuan Islam harus digagas,
dengan tujuan untuk meretas ketidakpahaman tentang wilayah peran maupun
paradigma teologisnya dalam mencetak kader immawati maupun doktrin ideologi
gerakan sebagai basis transformasi pandangan terhadap realitas immmawati
khususnya maupun perempuan umumnya. Dan jika kita berkomitmen untuk menapaki
jalan terjal perjuangan immawati sungguh sangat sulit untuk kita tempuh, Namun
harus di ingat bahwa gagasan awal immawati adalah menentukan masa depan
immawati sendiri tanpa berpijak kepada wacana dan teologi gerakan perempuan
lainnya, yang justru menjejalkan immawati kearah penjarahan paradigma berfikir.
Dengan demikian ide dan gagasan besar immawati akan hilang elan vitalnya jika
eksistensi immawati dalam IMM sendiri enggan membaca, membedah dan menelaah apa
itu sesungguhnya kelemahan sekarang ini. Namun persoalannya sejauh manakah
immawati dapat menafsirkan dan mengaplikasikan doktrin teologis dan ideologisnya
secara komprehensif. Lemahnya doktrin immawati baik dalam proses kaderisasi
maupun paradigma yang bersifat non formalnya dalam tubuh immawati sendiri bisa
menjadi indikator bahwa memang lemahnya loyalitas dan militansi seorang immawati
bisa mengakibatkan fatal baik secara structural maupun secara nonstruktural.
Sementara immawati di tuntut untuk bisa menjelaskan bahwa immawati harus
mempunyai pemahaman dan praksis tauhid dan aqidah yang bulat, utuh, dan
bersipat inklusifisme, egalitarianisme dan liberasi. Hal inilah yang menjadi
titik kelemahan immawati, sehingga mudah di manfaatkan oleh gerakan lain untuk
men-judge bahwa immawati tidak Islami, immawati kering akan sentuhan
spiritualitas dan ruh keislaman, bahkan tidak jauh dari perempuan bukan
immawati. Black campaigne ini jelas-jelas sangat merugikan immawati, meskipun
hal tersebut tidak sepenuhnya benar dan salah. Untuk mengukur kekuatan doktrin
immawati tentu harus memiliki komitmen yang kuat dalam menciptakan dinamika
keilmuannya, dimana Immawati harus bersemangat dalam merekonstruksikan kekuatan
individu yakni dengan proses pemaksimalan potensi diri melalui membaca,
berfikir, menulis dan berdiskusi, tanpa adanya batas wacana. Potensi ini akan
maksimal, ketika immawati membiasakan diri untuk melakukan doktrin diri, dengan
system refleksi buku. Jangan sampai anggaran untuk membeli buku terbuang karena
lebih senang untuk pemenuhan kebutuhan gaya hidup hedonis dan gaya-gayaan serta
sombong padahal tak mampu. Sehingga hal seperti ini yang menyebabkan immawati
tidak mengalami perkembangan scara efektif dan kontinyu.
Doktrin immawati adalah salah satu entre poin dan
pijakan kuat bagi immawati untuk menanamkan dan membangun fungsi gerakan.
Kekuatan parameter dan keberhasilan doktrinal haruslah terlebih dahulu di
jelaskan dalam “Pedoman teologis dan Ideologis IMMAWATI” sebagai acuan dalam
proses kaderisasi. Pembenahan pada sisi tri kompetensi IMM dan penegasan
kembali peran serta fungsi immawati sangat penting untuk memberikan nilai-nilai
ideologis (Islam, Muhammadiyah dan Keimmawatian), tanpa meninggalkan sisi
ritual yang menjadi kewajiban seorang muslimah. Immawati juga harus sering
berkumpul untuk menjaga silaturrahmi dan juga sebagai forum praktis kritis
dengan tujuan membongkar kejumudan berfikir, Begitu juga dengan proses
pelembagaan ritualisme ibadah, seperti shalat lail, puasa sunnat di kalangan
IMM maupun immawati belum membudaya dan hanya pelengkap ketika proses DAD dan
DAM berlangsung. Selain itu pemanfaatan masjid sebagai sentra kegiatan “student
ideologis immawati” agar menjadi pemupus stigma negatif immawati. Dan ini bisa
menjadi titik awal kembalinya immawati bangkit ke ruang-ruang diskusi sebagai
aplikasi trikompetensi IMM. Proses pertukaran wacana akan semakin mempercepat kematangan
intelektual seorang immawati. Immawati harus mneyempatkan waktu untuk dating ke
forum-forum kajian IMM.42 Kemudian begitu juga dengan materi kajiannya harus
yang bersifat kritis dan memberikan kontribusi atau benih intelektual IMM
maupun immawati kedepannya (Materi rekayasa masa depan). Begitu juga dengan
doktrin immawati dalam konteks student ideologis immawati, bahwa sahnya student
ideologis immawati sebagai bentuk jaringan dalam memperkuat wacana yang
dimanifestasikan ke eksternal structural gerakan, maksudnya membangun
komonikasi gerakan dengan komonitas perempuan lain dengan tujuan memfollow up
wacana yang telah didiskusikan secara matang yang kemudian mengkomparasikan
dalam gerakan aksi nyata baik yang bersipat agitasi maupun nonligitasi atau
bisa juga memperkuat wacana tersebut dalam kontek pemberdayaan dan penyadaran
kolektif dalam suatu masyarakat, agenda ini merupakan program lanjutan immawati
setelah pelaksanaan perkaderan yang bersipat formal.
Lemahnya Institusi Kaderisasi IMMAWATI.
Lemahnya Institusi Kaderisasi IMMAWATI.
IMMAWATI sebagai kader IMM sudah mempunyai acuan
untuk menyelenggarakan perkaderan (Diksuswati). Namun acuan tersebut sudah
dianggap usang dan telah lam difumigasikan dalam etalase perpustakaan IMM yang
sampai sekarang belum ada yang berinisiatif untuk melakukan pertemuan Nasional,
Daerah, cabang, dan Komisariat untuk membicara lebih khusus tetang pola
kaderisasi Immawati. Padahal setiap agenda pertemuan tersebut merupakan ajang
refleksi secara kritis sebagai bentuk ikhtiar immawati dalam menyongsong
perubahan zaman. Kalau immawati menyerahkan pada pola dan Sistem Perkaderan
Ikatan (SPI) yang telah beberapa kali mengalami revisi, itu semua dalam prinsip
umumnya, tetapi belum ada dalam konteks khusu system perkaderan immawati yang
sesuai dengan kondisi sekarang. Secara global, kita boleh berbangga dengan
adanya SPI ini, karena isi dari SPI sebagai sebuah hand book perkaderan memuat
materi dan metode yang menyentuh aspek-aspek dalam diri manusia yang meliputi
afektif, kognitif dan psikomotorik. Namun yang menjadi titik lemah dari SPI ini
adalah, perkaderan yang di usung selama ini lebih banyak bersifat formal dan
utama. Sementara perkaderan non formal tidak tersentuh. Kemudian SPI juga tidak
mengatur secara khusus materi-materi yang berkaitan dengan diksuswati satu
sampai tiga. Begitu juga dalam melaksanakan MASTA dan berhasil menjaring
ratusan anggota baru. Lalu menggodoknya dalam DAD sehingga lahirlah kader-kader
yang militan. Namun setelah itu, apa yang akan kita lakukan dan berikan kepada
mereka? Rentang waktu yang lama antara pasca MASTA hingga menjelang DAD serta
pasca DAD lebih banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan formalistik.
Bidang-bidang yang ada di IMM seolah-olah “kebut kejar setoran” untuk
menuntaskan programnya sebelum musykom tiba. Sehingga IMM lebih terkesan
sebagai Event Organizer. Sementara pemenuhan sisi kognitif kader terpinggirkan.
Jikalau ada, itu pun berupa kajian-kajian dengan tema seadanya dan tidak
terstruktur rapi. Inilah lemahnya kita, belum mempunyai kurikulum yang
terstandarisasi dengan baik dan rapi. Dengan demikian kaderisasi menjadi bagian
terpenting dari sebuah keberlangsungan gerakan, seperti halnya IMM. Kader
sebagai penopang organisasi jangan sampai terabaikan keberadaan dan
kebutuhannya. Sebagian besar motif seseorang untuk masuk di IMM adalah karena
faktor keinginan mengenal Islam lebih dalam. Hal ini adalah sah dan wajar bagi
seorang anggota IMM. Untuk itulah sudah menjadi kewajiban bagi para Pimpinan
(baik tingkatan Komisariat hingga struktur di atasnya) memfasilitasi kebutuhan kader
tersebut. Dan kelemahan kita, kita belum mempunyai kurikulum untuk hal yang
seperti itu. Sebagai solusinya adalah kita memerlukan perangkat berupa
kurikulum yang berisi materi-materi perkaderan yang sistemik. Kurikulum ini
menjadi pedoman bagi pelaksanaan perkaderan yang sifatnya non formal dan bisa
di laksanakan dalam bentuk kajian atau bedah buku yang waktu pelaksanaannya
seminggu sekali.
Hal ini bisa menjadi
solusi atas kebuntuan proses perkaderan formal kita, selain itu bisa menjadi
pola interaksi yang dekat dan menyentuh sisi afektif seorang kader karena
adanya proses pemenuhan kebutuhan yang memang di harapkan seorang kader.
Disinilah peran yang harus di perlihatkan melalui metodeologi student ideologi
immawati sebagai basis perkaderan nonformal sehingga tumbuhnya pemahaman yang
sistematis di internal immawati sendiri, kalau hal ini tidak terlaksana maka
potensi immawati tidak bisa di identifikasikan secara makasimal dan immawati
pun akan meninggalkan IMM